Berita

KPK Hentikan Kasus Tambang Rp 2,7 T Konawe Utara, Tak Cukup Bukti Meski Rugikan Negara

Advertisement

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghentikan penyidikan kasus dugaan korupsi izin tambang di Konawe Utara yang merugikan keuangan negara hingga Rp 2,7 triliun. Penghentian kasus ini tertuang dalam Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang diterbitkan KPK.

Kasus Berjalan 8 Tahun, Tersangka Mantan Bupati Konawe Utara

Kasus ini pertama kali diumumkan oleh KPK pada 3 Oktober 2017. Saat itu, KPK menetapkan mantan Bupati Konawe Utara, Aswad Sulaiman, sebagai tersangka. Wakil Ketua KPK periode 2015-2019, Saut Situmorang, menyatakan bahwa kerugian keuangan negara dalam kasus ini diperkirakan lebih besar dari kasus korupsi Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP).

“Menetapkan ASW (Aswad Sulaiman) sebagai tersangka,” ucap Saut Situmorang saat itu di gedung KPK, Jakarta Selatan, Selasa (3/10/2017).

Saut menjelaskan, kerugian negara sebesar Rp 2,7 triliun berasal dari penjualan produksi nikel yang diduga diperoleh dari proses perizinan yang melawan hukum. “Indikasi kerugian negara yang sekurang-kurangnya Rp 2,7 triliun yang berasal dari penjualan produksi nikel, yang diduga diperoleh dari proses perizinan yang melawan hukum,” kata Saut.

Pencabutan Kuasa Pertambangan dan Penerbitan Izin Fiktif

Menurut KPK, Aswad Sulaiman diduga secara sepihak mencabut kuasa pertambangan yang mayoritas dikuasai PT Aneka Tambang (Persero) Tbk atau Antam. Setelah pencabutan tersebut, Aswad disebut menerima pengajuan permohonan izin eksplorasi dari delapan perusahaan. Hal ini berujung pada penerbitan 30 surat keputusan (SK) kuasa permohonan eksplorasi.

“Dalam keadaan (kuasa pertambangan) masih dikuasai PT Antam, Tersangka selaku penjabat bupati menerima pengajuan permohonan izin eksplorasi dari delapan perusahaan yang kemudian menerbitkan 30 SK kuasa permohonan eksplorasi,” ujar Saut Situmorang pada Selasa, 3 Oktober 2017.

Aswad, yang menjabat Penjabat Bupati Konawe Utara periode 2007-2009 dan Bupati Konawe Utara periode 2011-2016, diduga menerima uang sebesar Rp 13 miliar dari perusahaan-perusahaan tersebut.

“Tadi kita sebut ada beberapa company, kan. Berapa company ngasih berapa, itu masih kita dalami. Masih pendalaman. Company-nya kita nggak sebut sementara ini,” imbuh Saut.

Advertisement

Penyidikan Lanjutan dan Potensi Kerugian Lebih Besar

Saut memastikan bahwa penyidikan kasus ini akan terus menelusuri keterlibatan pihak lain. Pasal yang disangkakan, yakni Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, mengindikasikan tindak pidana korupsi dilakukan secara bersama-sama.

“Jadi akan dikembangkan nantinya ‘dan kawan-kawan’ ke arah mana, siapa saja nanti, terus menimbulkan kerugian. Oleh sebab itu, analisis kerugian ini bisa lebih besar. Dikaitkan dengan bagaimana masalah transaksional di kabupaten itu terjadi. Memang ada sejarah panjang juga,” tegas Saut.

SP3 Diterbitkan Karena Tidak Cukup Bukti

Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menyatakan bahwa SP3 diterbitkan karena penyidik tidak menemukan kecukupan bukti setelah dilakukan pendalaman pada tahap penyidikan. “Bahwa tempus perkaranya adalah 2009, dan setelah dilakukan pendalaman pada tahap penyidikan tidak ditemukan kecukupan bukti,” ujar Budi kepada wartawan, Jumat (26/12).

Budi menambahkan, penerbitan SP3 bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagi pihak-pihak terkait. KPK tetap terbuka jika ada informasi lebih lanjut mengenai kasus ini.

“Sehingga KPK menerbitkan SP3 untuk memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak terkait. Kami terbuka, jika masyarakat memiliki kebaruan informasi yang terkait dengan perkara ini untuk dapat menyampaikannya kepada KPK,” ujarnya.

Sebagai informasi, KPK dapat menerbitkan SP3 setelah revisi Undang-Undang KPK pada tahun 2019. Aturan mengenai penghentian perkara oleh KPK tercantum dalam Pasal 40 UU Nomor 19 Tahun 2019.

Advertisement