Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) untuk kasus dugaan korupsi terkait izin tambang di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Kasus yang diduga merugikan negara senilai Rp 2,7 triliun ini dihentikan karena tidak ditemukannya kecukupan bukti.
Alasan Penghentian Kasus
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menjelaskan bahwa kasus ini bermula pada tahun 2009. Meskipun penyidik telah menetapkan tersangka pada tahun 2017, pendalaman lebih lanjut tidak menemukan bukti yang cukup untuk melanjutkan proses hukum.
“Bahwa tempus perkaranya adalah 2009 dan setelah dilakukan pendalaman pada tahap penyidikan tidak ditemukan kecukupan bukti,” ujar Budi Prasetyo.
Ia menambahkan bahwa penerbitan SP3 bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang terkait. KPK juga menyatakan tetap terbuka jika ada informasi baru yang relevan dengan kasus ini.
“Sehingga KPK menerbitkan SP3 untuk memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak terkait. Kami terbuka, jika masyarakat memiliki kebaruan informasi yang terkait dengan perkara ini untuk dapat menyampaikannya kepada KPK,” tuturnya.
Dasar Hukum dan Latar Belakang Kasus
KPK dapat menerbitkan SP3 setelah revisi Undang-Undang KPK pada tahun 2019. Aturan mengenai penghentian perkara ini tercantum dalam Pasal 40 UU Nomor 19 Tahun 2019.
Kasus yang berlokasi di Konawe Utara ini sempat menjadi sorotan pada tahun 2017 ketika KPK menetapkan mantan Bupati Konawe Utara, Aswad Sulaiman, sebagai tersangka. Ia diduga memperkaya diri sendiri dan menyalahgunakan kewenangan yang berujung pada kerugian keuangan negara.
“Menetapkan ASW (Aswad Sulaiman) sebagai tersangka,” ucap Wakil Ketua KPK saat itu, Saut Situmorang, pada Selasa (3/10/2017) di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan.
Saut Situmorang kala itu merinci bahwa dugaan korupsi terkait izin eksplorasi, izin usaha pertambangan, dan izin operasi produksi di Konawe Utara. Tindak pidana yang disangkakan kepada Aswad diduga terjadi antara tahun 2007 hingga 2009.
“Indikasi kerugian negara yang sekurang-kurangnya Rp 2,7 triliun yang berasal dari penjualan produksi nikel, yang diduga diperoleh dari proses perizinan yang melawan hukum,” kata Saut Situmorang.






