Jakarta – Densus 88 Antiteror Polri melaporkan keberhasilan menangkap 51 tersangka kasus terorisme sepanjang tahun 2025. Pencapaian ini sekaligus mempertahankan catatan zero terrorism attack yang telah diraih sejak tahun 2023.
Rincian Penangkapan dan Kasus Menonjol
Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Komjen Syahardiantono merinci jumlah penangkapan tersebut di Mabes Polri, Jakarta, pada Selasa (30/12/2025). “Densus 88 menangkap 51 tersangka selama tahun 2025. Sementara di tahun 2024, ada 55 tersangka yang ditangkap dan 147 tersangka diamankan di tahun 2023,” ujar Syahardiantono.
Sepanjang 2025, beberapa kasus terorisme menonjol, termasuk radikalisme yang menyasar anak di bawah umur. Tercatat ada empat rencana aksi terorisme yang diungkap dari kelompok Ansharut Daulah. Selain itu, 20 rencana aksi serangan yang melibatkan anak di bawah umur juga berhasil digagalkan.
Upaya pengamanan menjelang Natal dan Tahun Baru 2025/2026 juga membuahkan hasil dengan penangkapan 7 tersangka terorisme. Penanganan anak di bawah umur yang terpapar paham kekerasan menjadi perhatian khusus.
Radikalisme pada Anak dan Potensi Ancaman
Pada 18 November 2025, Densus 88 Antiteror Polri, bersama berbagai instansi terkait seperti Divisi Humas Polri, BNPT, Kemen Polkam, Komdigi, Kementerian PPPA, Kemensos, dan KPAI, merilis pengungkapan kasus rekrutmen teroris terhadap 110 anak secara daring. Para tersangka merekrut anak-anak berusia antara 10 hingga 18 tahun dari 23 provinsi di Indonesia.
Densus 88 juga melakukan penyelidikan dan pendampingan terhadap 68 anak di 18 provinsi yang terpapar kekerasan secara daring sepanjang 2025. Anak-anak ini menunjukkan potensi ancaman serius.
Penyelidikan menemukan bahwa anak-anak yang terpapar paham kekerasan ini memiliki benda-benda berbahaya, seperti senjata tajam, busur dan anak panah, replika senjata api, peluru, gotri, dummy bomb, serta atribut dan simbol yang identik dengan kekerasan.
Mereka diduga menganut berbagai paham ekstrem, di antaranya Natural Selection, Neo Nazi, Whitesupremacy, dan paham identitas lainnya. Potensi ancaman semakin nyata karena anak-anak ini sudah memiliki sasaran aksi, termasuk sekolah dan teman-teman mereka.






