Berita

Kejagung Usut Dugaan Korupsi Izin Tambang di Konawe Utara, Selidiki Sejak Agustus 2025

Advertisement

Kejaksaan Agung (Kejagung) tengah melakukan penyidikan mendalam terkait kasus dugaan korupsi pemberian izin tambang di wilayah Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Proses penyidikan ini dilaporkan telah berjalan sejak Agustus 2025.

Penyidikan oleh Tim Gedung Bundar

Kapuspenkum Kejagung, Anang Supriatna, mengonfirmasi bahwa tim dari Direktorat Penyidikan Jampidsus (Gedung Bundar) telah menangani perkara dugaan permasalahan pertambangan di Konawe Utara. “Seinget saya, Kejaksaan Agung, tim Gedung Bundar sudah melakukan penyidikan dalam perkara dugaan permasalahan pertambangan (di Konawe Utara). Penyidikannya kalau nggak salah sekitar bulan Agustus atau September 2025,” ujar Anang di Kejagung, Jakarta Selatan, Rabu (31/12/2025).

Pernyataan ini disampaikan Anang sebagai respons atas pertanyaan mengenai penanganan kasus dugaan korupsi tambang di Konawe Utara yang sebelumnya penyidikannya dihentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Anang merinci bahwa kasus yang kini diusut Kejagung berfokus pada dugaan pemberian izin tambang yang melanggar batas wilayah, khususnya memasuki kawasan hutan lindung.

Modus Operandi dan Rentang Waktu

Modus operandi yang diduga dilakukan adalah memberikan izin kepada beberapa perusahaan untuk melakukan aktivitas penambangan di area yang seharusnya dilindungi. “Modusnya itu memberikan izin kepada beberapa perusahaan untuk pembukaan tambang, memasuki wilayah hutan lindung. Yang bekerja sama dengan instansi terkait,” jelas Anang.

Perkara ini diduga terjadi dalam rentang waktu antara tahun 2013 hingga 2025. Hingga kini, Kejagung belum mengumumkan penetapan tersangka dalam kasus ini. Anang juga menyatakan ketidaktahuannya mengenai detail penghentian perkara oleh KPK.

Keterangan Kejagung vs. KPK

“Saya tidak tahu SP3 KPK seperti apa. Yang jelas kita itu tim pidsus sudah melakukan penyidikan sekitar bulan September atau Agustus 2025 dan sudah melakukan pemeriksaan terhadap beberapa saksi dan melakukan penggeledahan. Baik itu di kantor maupun di rumah di daerah Konawe dan Jakarta,” ungkap Anang.

Sebelumnya, juru bicara KPK, Budi Prasetyo, menyatakan bahwa penerbitan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3) untuk kasus dugaan korupsi terkait izin tambang di Konawe Utara telah dilakukan KPK sejak tahun 2024. Menurut Budi, penghentian tersebut didasari oleh kendala dalam perhitungan kerugian negara.

Advertisement

“Penerbitan SP3 oleh KPK sudah tepat karena tidak terpenuhinya kecukupan alat bukti dalam proses penyidikan yang dilakukan, Pasal 2, Pasal 3-nya (UU Tipikor), yaitu terkendala dalam penghitungan kerugian keuangan negara,” kata Budi.

Selain itu, faktor waktu juga menjadi pertimbangan. Kasus ini dinilai telah kedaluwarsa untuk pasal suap karena tempus perkaranya terjadi pada tahun 2009. “Kemudian, dengan tempus perkara yang sudah 2009, ini juga berkaitan dengan daluwarsa perkaranya, yakni terkait pasal suapnya,” imbuhnya.

Budi menambahkan bahwa penerbitan SP3 ini bertujuan memberikan kejelasan dan kepastian hukum bagi pihak-pihak terkait, mengingat proses hukum yang dijalankan dinilai telah sesuai koridor yang semestinya.

Latar Belakang Kasus Konawe Utara

Kasus ini memiliki catatan sebelumnya. Pada tahun 2017, KPK pernah menetapkan mantan Bupati Konawe Utara, Aswad Sulaiman, sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi terkait izin pertambangan. Ia diduga memperkaya diri sendiri dan menyalahgunakan kewenangan, yang berujung pada kerugian keuangan negara.

“Menetapkan ASW (Aswad Sulaiman) sebagai tersangka,” ujar Wakil Ketua KPK saat itu, Saut Situmorang, di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa (3/10/2017).

Saut menjelaskan bahwa dugaan korupsi tersebut berkaitan dengan izin eksplorasi, izin usaha pertambangan, dan izin operasi produksi di Konawe Utara. Tindak pidana yang disangkakan pada Aswad diduga terjadi antara tahun 2007 hingga 2009. “Indikasi kerugian negara yang sekurang-kurangnya Rp 2,7 triliun yang berasal dari penjualan produksi nikel, yang diduga diperoleh dari proses perizinan yang melawan hukum,” papar Saut kala itu.

Advertisement