Sadam Ar Rauf Alif, seorang pemuda berusia 17 tahun, telah menempuh perjalanan hidup yang penuh liku. Di balik ketenangan dan kesopanannya, tersimpan kisah tentang keluarga besar, ekonomi yang rapuh, dan perjuangan gigih untuk tetap bersekolah. Ayahnya, seorang buruh pabrik cat, kini menghadapi ancaman pemutusan hubungan kerja akibat kebijakan pengurangan karyawan. Sementara ibunya, yang membuka jasa cuci baju di rumah, memiliki penghasilan yang tidak menentu. Dalam kondisi serba terbatas ini, orang tua Sadam masih harus menanggung biaya hidup tujuh orang anak.
Di tengah keterbatasan tersebut, Sadam berjuang keras untuk menyelesaikan pendidikannya. Ia mengingat dengan jelas masa setelah lulus SD pada tahun 2021, ketika pandemi COVID-19 semakin memperburuk kondisi ekonomi keluarganya. Sadam sempat masuk pondok pesantren melalui jalur seleksi hafalan, namun hanya bertahan enam bulan. “Waktu itu aku keluar gara-gara masih nggak kuat. Kaget dengan kehidupan pesantren,” tutur Sadam, Sabtu (27/12/2025).
Setelah keluar dari pesantren, Sadam tidak langsung melanjutkan sekolah. Selama enam bulan berikutnya, ia terpaksa absen dari bangku pendidikan karena kondisi ekonomi keluarga yang tidak memungkinkan. “Gara-gara Covid, ekonomi orang tua memburuk. Enam bulan itu aku nggak lanjut sekolah,” ujarnya. Ia kemudian melanjutkan pendidikan di SMP Al-Islam Gunungpati, sebuah sekolah swasta gratis. Lulus dari sana, Sadam berhasil diterima di SMKN 1 Semarang, jurusan Elektro, sesuai dengan pilihannya sendiri.
Namun, tantangan baru kembali muncul. Meskipun bersekolah di SMK negeri, kebutuhan penunjang pendidikan, seperti perlengkapan praktik jurusan elektro yang membutuhkan laptop, menjadi beban berat bagi keluarga Sadam. Jarak sekolah dari rumah yang mencapai 10-11 kilometer juga menambah kesulitan. Awalnya, orang tua Sadam masih berusaha mengantarnya ke sekolah, namun seiring waktu, hal itu semakin sulit dilakukan karena pekerjaan dan kondisi rumah. “Awal-awalnya diantarin orang tua. Terus alhamdulillah ada teman yang nawarin nebeng motor karena searah,” tutur Sadam.
Nebeng motor teman menjadi solusi sementara bagi Sadam untuk tetap bersekolah. Namun, ia menyadari bahwa kebutuhan pendidikannya akan terus bertambah dan berpotensi kembali membebani orang tuanya. Di tengah situasi tersebut, Sadam mendapat tawaran untuk bergabung dengan Sekolah Rakyat Terintegrasi (SRT) 45 Semarang melalui pendamping Program Keluarga Harapan (PKH). Sejak bergabung dengan SRT 45 Semarang, Sadam merasakan perubahan besar dalam hidupnya. Ia kini tinggal di asrama, belajar dengan tenang, dan tidak lagi dihantui persoalan biaya sekolah. “Kalau di sini semua sudah ditanggung, jadi tenang, enggak membebani orang tua lagi,” katanya.
Bagi Sadam, fasilitas yang diberikan SRT 45 Semarang bukan sekadar kemudahan. Ini berarti orang tuanya dapat lebih fokus memenuhi kebutuhan adik-adiknya, termasuk dua adik kembarnya yang masih berusia empat tahun. Kehidupan di asrama justru memberikan rasa nyaman dan penerimaan bagi Sadam. Ia merasa dikelilingi oleh lingkungan yang suportif. “Enak tinggal di sini. Teman-temannya baik, guru-gurunya juga baik dan support,” ujarnya. Ia menganggap teman-teman di asrama sudah seperti saudara sendiri, sementara para guru adalah orang tua kedua yang membimbingnya tanpa tekanan. “Awal-awal masih canggung, tapi sekarang sudah nyaman. Rasanya seperti rumah kedua,” katanya.
Rasa aman ini memungkinkan Sadam untuk kembali fokus pada studinya dan memikirkan masa depan tanpa beban berlebih. Cita-citanya sempat berubah dari insinyur menjadi diplomat. Ketertarikan pada bahasa Inggris dan isu-isu luar negeri sudah tumbuh sejak SMP, terbukti dari partisipasinya dalam kompetisi literasi bahasa Inggris tingkat nasional. “Aku suka bahasa Inggris, suka nonton cerita tentang negara-negara lain, politik luar negeri,” katanya. Kini, Sadam bertekad untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang kuliah, menyadari bahwa ijazah adalah kunci untuk meraih kesuksesan dan keluar dari lingkaran kesulitan. “Aku pengen kuliah. Harus punya ijazah supaya bisa sukses,” ujarnya.
Di Sekolah Rakyat Terintegrasi 45 Semarang, Sadam tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang. Ia dipercaya menjadi Ketua OSIS melalui proses pemilihan yang demokratis, lengkap dengan penyampaian visi-misi dan pencoblosan. “Kayak pemilihan presiden. Nyampein visi, terus dipilih,” tuturnya. Pengalaman ini menjadi bekal berharga baginya dalam belajar memimpin dan bertanggung jawab. Kini, Sadam tidak lagi perlu nebeng motor untuk bersekolah. Di Sekolah Rakyat, ia menemukan ketenangan, kesempatan kedua, dan ruang untuk menata masa depan dengan lebih pasti.






