Berita

Pakar UI Jelaskan Alasan Sapaan ‘Yang Terhormat’ Dihilangkan dalam Rapat DPR

Advertisement

JAKARTA – Penggunaan sapaan ‘yang terhormat’ dalam forum resmi seperti rapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kerap kali dinilai terlalu panjang dan berlebihan. Hal ini diungkapkan oleh pakar komunikasi dari Universitas Indonesia (UI), Firman Kurniawan, yang menjelaskan bahwa sapaan tersebut sejatinya merupakan simbolisasi penghormatan.

Simbol Penghormatan yang Berlebihan

Firman Kurniawan menjelaskan bahwa sapaan ‘yang terhormat’ awalnya digunakan sebagai bentuk penghormatan dalam berbagai forum resmi. “Itu sebetulnya sebuah bentuk simbolisasi penghormatan. Jadi mungkin selama ini di berbagai forum itu simbolisasi penghormatan dengan menyebut ‘yang terhormat’,” kata Firman saat dihubungi, Rabu (31/12/2025).

Dalam konteks rapat antara anggota DPR dengan gubernur dan kepala daerah di Aceh, sapaan tersebut menunjukkan adanya representasi wakil rakyat yang dihormati. Namun, Firman menilai bahwa penerapannya sering kali menjadi terlalu panjang, terutama ketika harus menyebutkan nama setiap individu.

Efisiensi Waktu dan Menghindari Beban

Menurut Firman, sapaan ‘yang terhormat’ yang disampaikan satu per satu dapat memakan waktu dan berpotensi menimbulkan masalah jika ada nama yang terlewat. “Sering kali, ketika itu diterapkan, memang terasa terlalu panjang, banyak orang yang harus disebutkan satu per satu, dan yang penting di Indonesia ini ketika menyebutkan nama orang itu akan menjadi persoalan ketika ada seseorang yang harusnya disebutkan tapi tidak disebutkan,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa sapaan tersebut terkadang terasa seperti basa-basi yang terlalu panjang dan justru menjadi beban bagi pembicara. “Kadang itu menyulitkan orang ketika ada yang terlupa malah jadi problem, dan membebani yang berpidato harus ingat nama orang satu per satu dan membuang waktu,” tutur Firman.

Firman menyarankan agar sapaan tersebut dapat digeneralisir. Cukup dengan salam pembuka dan menyebutkan ‘yang saya hormati para hadirin’, tanpa harus menyebutkan nama satu per satu. “Jadi tadi, demi efisiensi waktu, demi tidak menghilangkan yang substansial karena sapaan yang berkepanjangan seperti itu. Jadi malah mungkin perlu ditradisikan, perlu bahwa semua yang kita hadapi itu kita hormati, cukup dengan salam di depan, kemudian ‘yang saya hormati para hadirin’, nggak usah disebutkan satu per satu, ini perlu menjadi step yang dibiasakan kalau menurut saya,” jelasnya.

Advertisement

Permintaan di Rapat Pascabencana Aceh

Sebelumnya, Wakil Ketua DPR Saan Mustopa meminta agar sapaan ‘yang terhormat’ tidak digunakan dalam Rapat Koordinasi Satgas Pemulihan Pascabencana DPR bersama sejumlah menteri dan kepala daerah di Aceh. Permintaan ini disampaikan untuk mengefisiensikan waktu rapat.

Rapat yang digelar di Banda Aceh, Selasa (30/12), dihadiri oleh Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) dan beberapa kepala daerah. Bupati Aceh Tamiang Armia Pahmi dan Bupati Pidie Jaya Sibral Malasyi sempat menggunakan sapaan ‘yang terhormat’ sebelum Saan Mustopa memberikan arahan.

“Berikutnya, untuk mengefisiensikan waktu ya, jadi nggak usah disebut satu per satu yang terhormat-yang terhormatnya. Langsung to the point kepada laporan intinya. Silakan, dari Bupati Aceh Utara,” ujar Saan Mustopa.

Setelah arahan tersebut, Bupati Aceh Utara memberikan paparannya tanpa menggunakan sapaan ‘yang terhormat’.

Advertisement